28 juli 2024​

“APA ITU FIQIH MUAMALAH?”

Oleh: Ustadz H. Dwi Condro Triono, Ph.D


Sebelum kita membahas tentang apa itu fiqih mu’amalah, marilah kita memahami terlebih dahulu, apa yang disebut dengan mu’amalah itu. Pengertian mu’amalah secara terminologis ​adalah:“Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan dunia” (Al-Mu’jamul Wasith, II/628)..Dari makna mu’amalah secara terminologis tersebut, kita mengetahui bahwa ​mu’amalah ternyata berkaitan dengan urusan dunia. Oleh karena itu kita harus memahami, apa yang dimaksud dengan urusan dunia itu. Yang dimaksud dengan “urusan dunia” yaitu: ​interaksi antara manusia dengan manusia lain. Contohnya apa? Contohnya adalah: urusan jual beli, syirkah, ijarah (sewa-menyewa) dsb. Dengan demikian, kita juga dapat memberikan ​definisi muamalah secara terminologis dengan lebih lengkap adalah: hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi, yaitu yang mengatur interaksi antar ​manusia di dunia.

Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan mu’amalah, maka berikutnya adalah memahami apa yang dimaksud dengan fiqih itu. Fiqih secara bahasa (etimologis) adalah: al-​fahmu (memahami). Sedangkan pengertian fiqih secara istilah (terminologis) adalah:“Ilmu tentang hukum-hukum syara' yang amaliah yang digali dari dalil-dalilnya yang ​terperinci”..Setelah kita memahami makna fiqih tersebut, selanjutnya kita dapat mendefinisikan makna dari fiqih mu’amalah, yaitu:“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang ​menyangkut interaksi satu manusia dengan manusia lain dalam urusan dunia” (Al-Mu’jamul Wasith, II/628). Dari definisi di atas, kita dapat memahami bahwa definisi di atas adalah ​definisi mu’amalah dalam arti luas (sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya).

Untuk pembahasan fiqih mu’amalah dalam kaitannya dengan bisnis syari’ah kita menggunakan istilah fiqih muamalah dalam arti yang sempit. Fiqih mu’amalah dalam arti sempit ​adalah: ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang menyangkut interaksi satu manusia dengan manusia lain dalam pengelolaan harta benda (tasharruf fi al-maal). Definisi fiqih ​mu’amalah dalam arti sempit ini dapat disebut juga fiqih muamalah maaliyah.


Dengan memahami definisi fiqih mu’amalah tersebut, maka kita dapat memahami bahwa fiqih mu’amalah itu adalah produk para ulama dalam menghasilkan hukum-hukum syari’at di ​bidang mu’amalah. Oleh karena itu, yang harus kita fahami selanjutnya adalah bagaimana para ulama dalam menarik hukum syari’at (istinbathul ahkam) dari dalil-dalil syari’at yang ​terperinci itu? Dalam menarik hukum syari’at, tentu tidak sembarangan, melainkan dengan ilmu yang dapat dipertaggungjawabkan, dengan kesungguhan dan dengan penuh kehati-​hatian. Proses penggalian hukum oleh ulama dengan penuh kesungguhan tersebut, selanjutnya dikenal dengan istilah ijtihad. Nah, apa yang disebut ijtihad itu? Secara definisi, ijtihad ​adalah: “Ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menggali hukum syara’ dari dalil-dalil syar’inya yang terperinci”.

28 juli 2024​

HUKUM JUAL BELI KREDIT (CICILAN) DAN UANG MUKA

Oleh: Ust. M Shiddiq Al Jawi


Jual beli kredit dalam fiqih dikenal dengan istilah al-bai` bi ad-dain atau al-bai` bi at-taqsith, atau al-bai' li-ajal. Semuanya berarti jual beli dengan penyerahan barang pada saat akad, tapi pembayarannya dilakukan secara tertunda. Pembayaran tertunda ini dapat dilakukan sekaligus pada satu waktu, atau dicicil (diangsur) dalam beberapa kali cicilan (tidak dibayar sekaligus dalam satu waktu). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu'amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, hlm. 311; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wal Mu'ashirah, hlm. 84).


Dalam jual beli kredit umumnya penjual menetapkan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan (cash). Misalnya, penjual menetapkan harga sebuah sepeda motor seharga Rp 10 juta jika dibayar kontan, dan Rp 12 juta jika dibayar kredit dalam jangka waktu tertentu. Dalam jual beli kredit ini penjual seringkali menetapkan uang muka (DP, down payment). Dengan ketentuan, jika jual beli jadi, uang muka akan dihitung sebagai bagian harga. Jika tidak jadi, uang muka tidak dikembalikan kepada pembeli tapi menjadi hak penjual. Bolehkah jual beli kredit dan DP semacam ini?


Jumhur fuqaha seperti ulama mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah) membolehkan jual beli kredit, meski penjual menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan. Inilah pendapat yang kuat (rajih). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu'amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, hal. 316, Asy-Syaukani, Nailul Authar, 8/199; Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/307).


Dalil kebolehannya adalah keumuman dalil-dalil yang telah membolehkan jual beli, misalnya firman Allah SWT :


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا


"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah [2] : 275)


Juga berdasar sabda Nabi SAW :


إِنَّماَ الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ


"Sesungguhnya jual beli itu adalah atas dasar saling ridha." (HR Ahmad dan Ibnu Majah).


Kata "al-bai’” (jual beli) dalam hadits ini bersifat umum, mencakup jual beli kredit. Diriwayatkan bahwa Thawus, Al-Hakam, dan Hammad berkata bahwa tidaklah mengapa kalau penjual berkata kepada pembeli,'Aku jual kontan kepadamu dengan harga sekian, dan aku jual kredit kepadamu dengan harga sekian,' lalu pembeli membeli dengan salah satu dari dua harga itu. (Hisyam Barghasy, Hukum Jual Beli Secara Kredit (terj.), hal. 75).


Adapun mengenai uang muka (DP), hukumnya boleh. Karena ada riwayat bahwa Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga). (Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu' Al-Qadimah wal Mu'ashirah, hal. 84). Sebagian ulama melarang uang muka ('urbun) dengan dalil hadis :


أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللّهُ عَلِيهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ


“Bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli dengan uang muka ('urbun).” (HR Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah no 2193).


Namun hadis ini ternyata adalah hadits yang lemah (dhaif) sehingga tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang DP. (Ibnu Hajar, At-Talkhis Al-Habir, 3/17; Al-Albani, Takhrij Al-Misykah, 2/866). Wallahu a'lam.


Artikel asli: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/119

27 juli 2024

Cara Menghitung BEP (Break Even Point) secara mudah

Man Predicting Break Even Point Of Oil Investment

Dalam ilmu akuntansi dikenal namanya Break Event Point (BEP). BEP merupakan titik dimana pendapatan dari usaha sama dengan modal yang anda keluarkan, dengan ​artian anda tidak mengalami kerugian maupun keuntungan.

Dengan kondisi bunga deposito yang semakin menurun, tentunya tidak memberikan return yang cukup baik kita untuk meningkatkan daya beli kita akan dana yang kita ​miliki. Hal ini bisa disebabkan oleh tingkat inflasi yang lebih besar dari bunga deposito.

Bila kita mencoba untuk memulai suatu usaha baru dalam rangka untuk meningkatkan return kita (apapun usaha yang kita pilih seperti toko lampu, toko HP, toko ​stationary, usaha laundry dll), tentunya kita perlu :

  1. menghitung-hitung berapa dana yang diperlukan untuk menyewa tempat usaha, membeli perabotan, mempekerjakan karyawan dan hal-hal lain
  2. membuat proyeksi :

a. Berapa volume penjualan yang perlu diperoleh agar dapat minimal menutup seluruh biaya-biaya timbul.

Ini dikenal dengan istilah Break Even Point (Biasa disingkat BEP) dimana seluruh biaya yang timbul sama dengan total penjualan yang diperoleh,

sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan maupun kerugian

b. berapa volume penjualan yang diperlukan agar kita dapat memperoleh laba yang kita targetkan


Jenis Break Event Point (BEP)

  1. BEP Unit : titik pulang pokok (BEP) yang dinyatakan dalam jumlah penjualan produk di nilai tertentu.
  2. BEP Rupiah : BEP atau titik pulang pokok yang dinyatakan dalam jumlah penjualan atau harga penjualan (P) tertentu.


Rumus/Cara Menghitung BEP

  1. BEP Unit = (Biaya Tetap) / (Harga per unit – Biaya Variable per Unit)
  2. BEP Rupiah = (Biaya Tetap) / (Kontribusi Margin per unit / Harga per Unit)


Keterangan

a) BEP Unit / Rupiah = BEP dalam unit (Q) dan BEP dalam Rupiah (P)

b) Biaya Tetap = biaya yang jumlahnya tetap walaupun usaha anda tidak sedang berproduksi.

c) Biaya Variable = biaya yang jumlahnya meningkat sejalan peningkatan jumlah produksi seperti bahan baku, bahan baku pembantu, listrik, bahan bakar, dan lain-lain

d) Harga per unit = harga jual barang atau jasa perunit yang dihasilkan.

e) Biaya Variable per unit = total biaya variable perunit (TVC/Q)

f) Margin Kontribusi per unit = harga jual per unit -biaya variable per unit (selisih)


Contoh BEP perhitungan

Untuk dapat membuat proyeksi tersebut tentunya kita perlu mengetahui bagaimana cara menghitung Break Even Point atau yang biasa disingkat BEP.

Dalam menyusun perhitungan BEP, kita perlu menentukan dulu 3 elemen dari rumus BEP yaitu :

  1. Fixed Cost (Biaya tetap) yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyewa tempat usaha, perabotan, komputer dll. Biaya ini adalah biaya yang tetap kita harus ​keluarkan walaupun kita hanya menjual 1 unit atau 2 unit, 5 unit, 100 unit atau tidak menjual sama sekali
  2. Variable cost (biaya variable) yaitu biaya yang timbul dari setiap unit penjualan contohnya setiap 1 unit terjual, kita perlu membayar komisi salesman, biaya antar, ​biaya kantong plastic, biaya nota penjualan
  3. Harga penjualan yaitu harga yang kita tentukan dijual kepada pembeli

Berikut adapun contoh penggunaan rumus untuk menghitung Break Even Point :


1. Rumus BEP untuk menghitung berapa unit yang harus dijual agar terjadi Break Even Point :


Total Fixed Cost

__________________________________

Harga jual per unit dikurangi variable cost


Contoh :

Fixed Cost suatu toko lampu : Rp.200,000,-

Variable cost Rp.5,000 / unit

Harga jual Rp. 10,000 / unit


Maka BEP per unitnya adalah:

Rp.200,000

__________ = 40 units

10,000 – 5,000


Artinya perusahaan perlu menjual 40 unit lampu agar terjadi break even point. Pada pejualan unit ke 41, maka took itu mulai memperoleh keuntungan

2. Rumus BEP untuk menghitung berapa uang penjualan yang perlu diterima agar terjadi BEP :


Total Fixed Cost

__________________________________ x Harga jual / unit

Harga jual per unit dikurangi variable cost

Dengan menggunakan contoh soal sama seperti diatas maka uang penjualan yang harus diterima agar terjadi BEP adalah:


Rp.200,000

__________ x Rp.10,000 = Rp.400,000,-

10,000 – 5,000

Source: http://analisa-bisnis-usaha.blogspot.com/2013/07/cara-menghitung-bep-break-even-point.html



27 juli 2024

Kamu Bisanya Melarang Orang Menjauhi RIBA, SOLUSINYA mana.....???

Akhir-akhir ini banyak yang tanya japri via FB, WA, BBM, dll tentang RIBA. Rata-rata mereka sedang memiliki masalah, entah mau resign dari bank tapi sulit, atau pengen lepas dari ​hutang riba tapi ga tahu caranya karena ga punya aset, dll.


Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul, kira-kira begini :

" punya solusi ga, gimana caranya bisa nglunasin hutang RIBA?"

atau

"ada ga kira-kira orang yang bisa minjemin uang buat nutup hutang riba?"

atau

" kalo resign dari bank, trus kerja dimana? masih punya hutang soalnya"

GLEKKK…!!!

(Senyumin ajah…) 😊

Mbak, Mas, Pak, Bu,, Kalo selama ini kami-kami yang menyuarakan Anti RIBA, bukan berarti kami punya solusi yang konkret, riil, yang bisa "Blekkkk" ngasih uang, kerjaan, dll. Tapi, ​yang kami lakukan adalah bagaimana supaya pemikirannya sama, bahwa "RIBA itu SALAH, RIBA itu HARAM, RIBA itu DOSA BESAR". Sehingga kita bisa sama-sama saling ​mengingatkan untuk tidak (lagi) terjerumus RIBA, apapun bentuknya.

Tapi, Ngomong-ngomong soal solusi, sebetulnya Allah lah pemberi solusi terbaik, terjitu..

Allah berfirman :

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang ​bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya” (Ath-Thalaq: 2-3)

Firman Allah :

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, ​bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya." (QS Al Baqarah : 45-46)

Tu,, di Alquran saja udah jelas banget, kalo Allah memberikan kabar gembira, ga akan membiarkan kita kena masalah sendiri, karena Allah sudah MENJAMIN jalan keluarnya.

Masalahnya, tinggal kita mau taat atau enggak? Mau taqwa atau enggak? Mau sabar atau enggak? (Ahh, teori nya mah gampang. Klo cuman ngomong gitu doank mah bsa.. Ente ​gembar gembor ngelarang orang utk ambil RIBA tapi ga mau kasih solusinya.. trus gimana nih konkretnya..?? 😑)

Adakah yang nyinyir, 'mbatin', 'ngomyang', 'mbebeki' , seperti itu..?? Adaaaa….!!! Banyaaakkkk…..!! 😄😄

Gini ya,, tugas manusia itu saling mengingatkan, menyampaikan mana yang benar itu benar, mana yang salah itu salah. Bukan wilayah manusia untuk memberikan solusi yang pas ​seperti apa. Karena ga ada dalil yang menyebutkan bahwa : "Sampaikan dan bantu berikan jalan keluar…".

Yang ada adalah "Sampaikan…" Tapi, jika akhirnya kita bisa membantu, pastilah itu JAUH LEBIH BAIK.. 😊

Allah berfirman :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah [perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil] dan pelajaran yang baik ​dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui ​orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An Nahl: 125)


Tapi, ada beberapa TIPS yang bisa dilakukan supaya lebas dari RIBA :

Taubat Nasuha & Banyakin istighfar

Sesali dosa yang kita lakukan dan jangan pernah mengulangi lagi.

Perbaiki Ibadah

Ibadah wajibnya jangan sampai kelewat (Sholat, puasa, dll). Sholat tepat waktu. Yang laki-laki, biasakan di maasjid. Plusss,, dtambahin tuh, ibadah sunnahnya (sholat rawatib, puasa ​senin-kamis, sedekah, dll)

Membangun hubungan komunikasi (lagi) kepada rekan, teman lama

Bisa mulai cari friendlist di FB, sapa "hai, apa kabar?" "kegiatannya apa sekaran?", dll. Supaya ada peluang yang bisa kita ambil disana.

Perluas Wawasan

Masuk di komunitas-komunitas bisnis muslim, yang bisa membantu kita mendapatkan relasi/jaringan.

Banyak Mengkaji Ilmu

Ikuti kajian yang ada. Temanya bisa macam-macam. Mulai dari tauhid, akidah, muamalah, dll. Kalo kita udah ngaji, pasti temen-temennya banyak yang sholeh. Jadi Insya Allah, banyak ​yang ngingetin soal agama. Lagipula, wajib hukumnya tuh, cari tahu hukum-hukum fiqh, supaya kalo kita mau buka usaha, atau apapun, udah bener-bener sesuai syariat alias nggak ​ngeRIBA dan nggak melakukan transaksi lain yanh dilarang (Gharar, Maysir, dll)

Bergaul dengan Teman-teman yang Satu Visi

Banyak-banyak ketemu, sharing dengan teman-teman yang punya tujuan yang sama : HIJRAH. Supaya bisa saling menguatkan satu sama lain. Hijrah itu gampang, yang susah adalah ​ISTIQOMAH 😊

Yang Paling Penting : YAKIN sama Allah SWT, kalau Dialah Maha Segalanya.,

Allah SWT adalah Zat Pemberi Rezeki. Dia lah yang menentukan rejeki manusia itu seperti apa. Takaran, jumlah dan keberkahannya. Tugas kita adalah taat dan ikuti perintahNya, jauhi ​Larangannya.


Deketin Allah terusss…. Pasti apapun yang Dia kehendaki, pasti jadi deh.. KUN FAYAKUUN…!!

So, Udah siap untuk HIJRAH dari RIBA…??? Kalau gak sekarang, kapan lagi..?? Mumpung masih ada umur lhoo…

☺☺

Salam Hijrah…!!!!


(by: Arfina P)

Sumber: FB X-Bank (bit.ly/xbanksolusinyamana)

28 juli 2024​

HUKUM SEPUTAR I'TIKAF

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Apa pengertian i’tikaf?

I’tikaf adalah berdiam menetapi masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’la (luzûm al-masjid li ‘ibâdatillah ta’âla).

Apa tujuan i’tikaf?

Tujuan terbesar i’tikaf adalah untuk ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan Allah, dan melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, seperti shalat tahajjud yang lama, men-tadabburi (merenungkan secara mendalam) ayat-ayat Al Quran, melakukan muhâsabah (instrospeksi) bagi diri sendiri, dan memperbaharui taubat kepada Allah. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Apa hukum i’tikaf?

I’tikaf hukumnya mandub (sunnah), boleh dilakukan pada setiap-tiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun yang lebih utama adalah mengerjakannya di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk mencari Lailatul Qadar.

Keutamaan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu didasarkan pada hadits berikut ini.

عن عائشةَ رَضِيَ اللهُ عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ , حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

Dari ‘A`isyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan karena sangat dianjurkannya i’tikaf, ketika Nabi SAW meninggalkan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu karena suatu udzur atau hajat, Nabi SAW mengqadha-nya di bulan Syawwal. (HR Bukhari dan Muslim). (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Berapa lama waktu i’tikaf itu, baik waktu paling sebentar maupun waktu paling lama?

Jumhur ulama mensyaratkan, sesedikit-sedikitnya i’tikaf itu, dilakukan dalam waktu sekejab (lah-zhatan wahidatan), misalnya berdiam beberapa saat di masjid, yang kira-kira selama orang membaca surat Al Fatihah.

Adapun waktu selama-lamanya i’tikaf, tidak ada batasannya, selama tidak menyebabkan suatu keharaman (mah-zhur syar’i) bagi orang yang beri’tikaf, misalnya meninggalkan kewajiban mencari nafkah, meninggalkan kewajiban berdakwah, dsb.

Apakah tetap wajib berniat jika i’tikafnya sebentar?

Atas dasar dua poin sebelumnya, yakni i’tikaf itu boleh sebentar atau lama, maka bagi setiap orang yang beri’tikaf, wajib meniatkan i’tikaf di masjid, baik ia i’tikaf sebentar maupun i’tikaf lama. Sama saja apakah dia masuk masjid memang untuk beribadah, misalnya untuk sholat atau tholabul ilmi, ataukah untuk keperluan di luar ibadah, misalnya sekedar beristirahat atau janjian bertemu dengan teman.


Apa saja syarat-syarat i’tikaf?

Syarat-syarat i’tikaf, yang terpenting adalah sebagai berikut :

(1) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf : muslim, mumayyiz, dan aqil (berakal).

Maka tidak sah i’tikaf bagi non muslim (kafir), karena orang kafir bukan ahlul qurûbât (orang yang berhak beribadah). Tidak sah pula i’tikafnya anak kecil yang belum mumayyiz, atau i’tikafnya orang gila.

(2) disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf dalam keadaan suci (thâhir) dari hadats besar. Maka tidak sah i’tikaf orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub, wanita yang sedang haid, dan wanita yang sedang nifas.

(3) I‘tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat lima waktu di situ. Hal ini sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Dan janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

Yang lebih afdhol (utama), i’tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat Jumat di situ.

Sebagian ulama membolehkan i’tikaf di bagian-bagian masjid yang mengikuti pada masjid, seperti perpustakaan masjid (maktabah), tempat adzan (mi’dzanah), dan sebagainya.

Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) bagi kami, tempat yang dikategorikan masjid itu hanya bagian-bagian masjid yang digunakan sholat. Jika tidak digunakan untuk sholat, misalnya perpustakaan masjid, maka tempat itu tidak dikategorikan sebagai masjid secara hukum syariah.

Maka dari itu, i’tikaf di perpustakaan masjid, menurut pendapat kami, tidak sah. Karena perpustakaan masjid tidak termasuk masjid secara hukum Islam.

Dasar pendapat kami adalah definisi masjid itu sendiri. Dalam definisi masjid ini, disyaratkan masjid haruslah berupa tempat yang dapat digunakan untuk ibadah (sholat) khususnya untuk bersujud, sebagaimana definisi masjid berikut ini :

المَسْجِدُ هوَ كُلُّ مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيه وَيُسْجَدَ لَهُ , لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ : « جُعِلَتْ لِي الأَرْضَ مَسْجِدًا وَطَهُورًا » أخرجه البخاري (438)، ومسلم (521)

“Masjid adalah setiap tempat yang dapat digunakan untuk beribadah [sholat] dan bersujud kepada Allah di dalamnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci.” (HR Bukhari, no. 438; Muslim, no. 521). (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 37, hlm. 154-155)

(4) disyaratkan orang yang beri’tikaf untuk berniat (dalam hati), karena i’tikaf itu ibadah, maka seseorang wajib berniat i’tikaf bersamaan saat dia memulai berdiam di masjid untuk pertama kalinya.

(5) disyaratkan i‘tikaf tidak boleh melalaikan suatu kewajiban dari orang yang beri’tikaf, misalnya bekerja mencari nafkah, atau mengakibatkan orang yang beri’tikaf itu melakukan yang haram atau mafsadat, misalnya melalaikan merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit. Karena i’tikaf itu sunnah, maka tidak boleh mendahulukan yang sunnah atas yang wajib, atau melakukan yang sunnah tapi mengakibatkan yang haram atau mafsadat.

(6) disyaratkan menurut Imam Ibnu Juzai dari mazhab Maliki, orang yang beri’tikaf itu hendaklah melakukan ketaatan atau ibadah, sesuai kemampuannya. Jika ini tidak dilakukannya, maka dia hanya mendapat bagian berupa memisahkan diri dari tempat tidur dan istri, atau meninggalkan makan dan minum (jika i’tikaf di siang hari), tetapi tidak mendapat tujuan utama dari i’tikaf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Apa hukum i’tikaf bagi wanita?

Hukumnya boleh. Hadits ‘Aisyah RA di atas menunjukkan bolehnya i’tikaf untuk laki-laki dan wanita, sebagaimana perkataan ‘Aisyah RA :

ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

“[setelah Rasulullah wafat], kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hanya saja, ada dua syarat untuk i’tikaf wanita :

(1) bagi wanita bersuami, wajib minta izin kepada suaminya, karena hak suami itu wajib didahulukan daripada i’tikaf, sedang bagi yang belum bersuami, wajib minta izin kepada ayahnya, atau wali terdekat jika ayah tidak ada.

(2) i’tikaf yang dilakukan wanita tidak menimbulkan fitnah (keharaman), atau mafsadat (bahaya).

Kapan seseorang yang beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan memulai i’tikafnya?

Terdapat dalil hadits yang menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh, pada hari keduapuluh pada bulan Ramadhan.

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, beliau berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائه فَضُرِبَ لَمَّا أَرَادَ الِاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ، وَأَمَرَتْ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ؛ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْفَجْرَ نَظَرَ، فَإِذَا الْأَخْبِيَةُ، فَقَالَ: آلْبِرَّ يُرِدْنَ؟ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ، وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأول مِنْ شَوَّالٍ. أخرجه البخاري ومسلم

”Jika Rasulullah SAW hendak i'tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat i'tikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil (khibâ’), maka dibuatkanlah untuk beliau ketika beliau hendak beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Istri-istri Rasulullah SAW yang lain juga minta dibuatkan bilik, maka dibuatkan untuk mereka. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau melihat bilik-bilik itu, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?" Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau membatalkan i'tikaf di bulan Ramadhan itu hingga akhirnya beliau beri'tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keterangan: Yang dimaksud “bilik” (Arab: khibâ’, jamaknya adalah akhbiyah) adalah semacam kemah kecil yang ditutup dengan wool atau bulu, dengan dua tiang. Nabi SAW membuatnya dengan tujuan agar tidak diganggu oleh orang lain, atau agar bisa fokus ibadah, dan hal itu supaya i’tikaf itu tidak dilakukan secara berjamaah, melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 153).

Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah sholat Shubuh itu, pada hari kedua puluh atau hari keduapuluh satu?

Penjelasannya ada pada 3 (tiga) poin berikut ini :

(1) menurut pendapat yang râjih (lebuh kuat) dari jumhur ulama, i’tikaf dimulai pada beberapa saat sebelum malam (yakni sebelum matahari terbenam) pada hari keduapuluh di bulan Ramadhan.

(2) maka dari itu, jika orang yang beri’tikaf itu mulai masuk masjid (beri’tikaf) pada hari keduapuluh satu, maka berarti dia telah luput dari malam kedua puluh satu (malam sebelumnya), padahal itu adalah malam ganjil.

(3) yang dimaksud “Jika Rasulullah SAW hendak beliau shalat Shubuh terlebih dahulu”, adalah waktu Shubuh pada hari keduapuluh.

Kapan orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu keluar dari masjid?

Jawabnya, sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam Idul Fitri.

Dalam hadits di atas, Nabi SAW bersabda ketika melihat bilik-bilik istri beliau,”Apakah kebaikan yang mereka inginkan?“ Apakah maksudnya?

Sabda Nabi SAW tersebut merupakan pertanyaan dengan maksud mengingkari sesuatu, ada 4 (empat) poin pembahasan berikut ini :

(1) bahwa Nabi SAW khawatir para istri beliau tidak beri’tikaf untuk ibadah, melainkan cemburu kepada Nabi SAW.

(2) bahwa Nabi SAW tidak senang para istri beliau ikut beri’tikaf, karena di masjid banyak orang yang keluar masuk, dan ada di antara manusia itu adalah orang munafik atau orang yang dalam hatinya ada penyakit, sehingga Nabi SAW merasa cemburu kepada para istri beliau.

(3) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf yang dilakukan para istri di masjid dengan beliau, justru akan menghilangkan tujuan i’tikaf itu sendiri, yaitu menjauhkan diri dari istri, dan fokus hanya pada ibadah saja.

(4) bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf para istri itu akan membuat ruangan masjid menjadi sempit bagi jamaah yang lain yang hendak sholat atau i’tikaf, disebabkan oleh adanya bilik-bilik yang dibuat untuk para istri Nabi SAW. (M. Sulaiman Nashrullah, Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 154).

Apa saja pelajaran atau hukum yang dapat diambil dari hadits ‘A`isyah RA di atas?

Dalam hadits ‘Aisyah RA yang menjadi pokok pembahasan di atas, terkandung banyak hukum syara’, di antaranya :

(1) memang sudah menjadi fitrah seorang wanita (sudah dari “sononya”), bahwa wanita itu pencemburu dengan para madu-nya.

(2) bahwa menolak mafsadat diutamakan daripada meraih manfaat (darul mafâsid muqaddamun ‘ala jalbil manâfi’). Maka Nabi SAW menunda i’tikafnya lalu diqadha di bulan Syawal, bukan meneruskan i’tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini karena beliau khawatir i’tikaf mereka itu dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal mafsadat, misalnya membuat masjid menjadi sempit, atau adanya ikhtilath (campur baur) antara istri-istri beliau dengan orang-orang yang keluar masuk masjid, dsb.

(3) hadits tersebut menunjukkan, jika seseorang sudah terbiasa melakukan ibadah sunnah, lalu ditinggalkan karena ada hajat atau udzur syar’i, maka hendaklah dia meng-qadha` pada waktu yang lain.

(4) hadits tersebut menunjukkan, bahwa i’tikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan, dan tidak disyaratkan i’tikaf itu dilakukan dalam keadaan sedang berpuasa.

(5) hadits tersebut menunjukkan, istri yang hendak beri’tikaf wajib minta izin lebih dulu kepada suaminya. Jika istri tidak minta izin, suami berhak menyuruh istrinya keluar masjid. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 159).

Apa hukumnya seseorang yang sedang beri’tikaf keluar dari masjid?

Pada dasarnya, ketika seseorang melakukan i’tikaf, dia tidak boleh keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat yang dibenarkan syariat (seperti buang air kecil, dsb).

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, dia berkata :

إنْ كُنْتُ لأَدْخُلُ البَيْتَ لِلْحاجَةِ، والْمَرِيضُ فِيهِ، فَما أسْأَلُ عنْه إلَّا وأنا مارَّةٌ، وإنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وهو في المَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وكانَ لا يَدْخُلُ البَيْتَ إلَّا لِحاجَةٍ، إذا كانَ مُعْتَكِفًا. رواه البخاري ومسلم

”Sesungguhnya aku pernah masuk ke rumah untuk suatu hajat. Dan ketika itu di dalamnya ada orang sakit. Aku tidaklah bertanya tentangnya melainkan aku sambil berjalan melintasinya. Dan Rasulullah SAW pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah, sedang beliau ada di masjid, dan aku pun menyisiri rambut beliau. Dan Rasulullah SAW tidak masuk rumah, kecuali ada hajat, jika beliau sedang melakukan i’tikaf.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan i’tikaf, beliau tidaklah keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat (seperti buang air kecil, dsb).

Hadits ini menunjukkan juga bahwa ketika ‘Aisyah RA sedang beri’tikaf, beliau meneladani Rasulullah SAW, yaitu tidak keluar masjid kecuali ada hajat. ‘Aisyah RA tidak mengunjungi orang sakit, kecuali sekedar melintasinya saja. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 161).

Apa sajakah pembatal-pembatal i’tikaf?

Pembatal-pembatal i’tikaf adalah :

(1) keluar dari masjid dengan seluruh badannya dengan sengaja, tanpa ada suatu hajat syar’i.

(2) melakukan kabâir (dosa besar) seperti ghîbah (menggunjing), namîmah (adu domba), menurut mazhab Maliki membatalkan i’tikaf. Sedang menurut jumhur ulama, yang lebih kuat (râjih), melakukan kabâir tidak membatalkan i’tikaf, tetapi mengurangi atau menghilangkan pahala i’tikaf itu.

(3) jima’ (berhubugan badan) dengan istri, dan muqaddimah-muqaddimah dari jima’ (seperti mencium, meraba, dsb). Firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

(4) nifas dan haid. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 162).

Apa saja hal-hal yang tidak tergolong pembatal-pembatal i’tikaf?

(1) mengeluarkan sebagian badan dari masjid.

(2) jika orang yang beri’tikaf keluar masjid karena dipaksa, atau karena lupa, tidak batal i’tikaf-nya.

(3) ihtilâm (mimpi hingga mengeluarkan mani), tidak membatalkan i’tikaf. Tetapi dia wajib segera mandi junub, karena tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid.

(4) keluarnya madzi dari orang yang beri’tikaf, tidak membatalkan i’tikaf. Tapi madzi itu najis dan membatalkan wudhu’. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 164).

Apa hukumnya keluar dari tempat i’tikaf (mu’takaf)?

Hukumnya ada rincian (tafshîl) sebagai berikut :

(1) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menafikan i’tikaf, misalnya menggauli istri, melakukan jual beli, maka i’tikafnya batal.

(2) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menjadi hajat dan tidak boleh tidak harus dilakukan, misalnya buang air besar atau kecil, mencari makanan atau minum, dsb, maka i’tikafnya tidak batal. Disunnahkan orang yang beri’tikaf minta bantuan orang lain untuk mencarikan makanan dan minuman.

(3) jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang tidak menafikan i’tikaf, tetapi dapat ditinggalkan, misalnya mengunjungi orang sakit, atau mengantar jenazah, maka itu tidak membatalkan i’tikaf jika dia mensyaratkannya dalam niat itikaf. Jika dia tidak mensyaratkannya dalam niat i’tikaf, batallah itikafnya.

Yang dimaksud “mensyaratkan” dalam niat i’tikaf, adalah ketika seseorang berniat, dalam hati dia berkata,”Aku niat i’tikaf karena Allah, namun aku akan keluar masjid jika ada keperluan mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah.”

Bagaimanakah hukum itikaf untuk wanita yang mustahadhah dan orang yang mubtala (incontinence, tak mampu menahan kencing)?

Sah hukumnya melakukan i’tikaf bagi orang yang bernajis secara permanen, seperti wanita yang mustahadhah dan orang mubtala, yaitu orang yang menderita incontinence (tidak mampu menahan kencing sehingga ngompol), sesuai hadits dari ‘Aisyah RA berikut ini :

اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسولِ اللَّهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحاضَةٌ ، فَكَانَتْ تَرَى الحُمْرَةَ والصُّفْرَةَ ، فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَها وَهِيَ تُصَلّي

”Salah seorang istri Rasulullah SAW yang mengalami istihadah ikut i’tikaf bersama beliau. Ia melihat cairan yang keluar ada yang berwarna kemerahan dan ada yang berwarna kekuningan. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (HR Bukhari, no. 2037).

Berdasarkan hadits ini, sah i’tikafnya wanita mustahadhah, sah pula sholatnya wanita mustahadhah, dan orang-orang yang dipersamakan dengan wanita mustahadhah itu, seperti orang yang selalu keluar air kencing, madzi, atau wadzi, dengan syarat tidak mengotori masjid. []

(Disarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan).


Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 22 Ramadhan 1443 / 22 April 2022

KH Muhammad Shiddiq Al Jawi


28 juli 2024​

TIPS DAN TRIK MILENIAL AGAR MEMILIKI PROPERTY TANPA RIBA

Oleh: Adhe Putra (Founder Akademi Bisnis Syariah, Owner Bestari Property)


Pada saat ini generasi milenial mendominasi populasi penduduk Indonesia. Tak hanya itu, kaum milenial juga mendominasi angkatan kerja. Kabar buruknya, kaum milenial ​diprediksi akan sulit memiliki rumah/property sehingga terancam jadi 'gelandangan' dalam beberapa tahun ke depan. Peningkatan pendapatan yang tidak signifikan ​dibandingkan rata-rata kenaikan harga property yang sangat tinggi serta gaya hidup yang cenderung boros, menjadi penyebab utamanya.

Hasil survey Rumah123 menyatakan dalam 1 tahun mendatang atau di tahun 2020, hanya 5% kaum milenial (kelahiran antara 1982 – 1995) yang sanggup membeli rumah. ​Sisanya, 95% tak memiliki tempat tinggal. Mendengar kabar tersebut membuat sedih kaum milenial. Bagaimana tidak? Kenaikan upah sangat berbanding terbalik ​dengan kenaikan property yang sangat tajam. Untuk di kota-kota besar, kenaikan harga property mencapai 17%, sedangkan kenaikan rata rata upah daerah berkisar 10%, ​ini belum termasuk biaya hidup semakin tinggi yang harus dijalani kaum milenial.

Melihat fakta-fakta tersebut, bagaimanapun rumah adalah kebutuhan pokok yang setiap orang pasti ingin memilikinya. Namun, hasrat untuk memiliki rumah jangan ​sampai membuat milenial melanggar Syariat-Nya dengan cara mengambil rumah dengan skema ribawi melalui KPR bank misalnya. Atau dengan korupsi uang rakyat ​agar bisa membeli rumah.

Meski tantangan yang dihadapi begitu berat, hendaklah kaum milenial jangan berputus asa dahulu, karena ada beberapa tips dan trik bagi milenial agar memiliki ​property tanpa riba.


1. TUNDA KESENANGANMU! MENABUNGLAH!

Langkah paling mudah adalah menabung. Memang banyak dari kaum milenial yang tidak bisa mengelola keuangan dengan baik sehingga sulit mengumpulkan uang ​untuk ditabung. Menurut survey Acorns (2015), dikutip dari Jakarta Post, hampir separuh anak muda menghabiskan uang mereka lebih banyak untuk nongkrong di kedai ​kopi dibandingkan menabung untuk masa depannya. Gaya hidup boros, travelling, dan konsumtif membuat milenial cenderung tidak bisa menabung. Hal ini tentu ​menyebabkan kaum milenial kesulitan untuk membeli property walau hanya untuk membayar DPnya sekalipun.

Oleh karenanya, alangkah baiknya kaum milenial menunda kesenangan dunianya sementara demi bisa memenuhi kebutuhan yang sifatnya bisa seumur hidup.

Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk tidak hidup boros? So, jangan ikuti hawa nafsu dengan gaya hidup boros. Sisihkan pendapatan yang diniatkan kuat agar ​Allah mengizinkan untuk memiliki rumah/property.


2. IKUT PROGRAM CICIL UANG MUKA KE PENGEMBANG SYARIAH

Kesulitan milenial salah satunya adalah tidak memiliki uang muka. Salah satu solusinya adalah ikut program cicilan uang muka (DP). Sudah banyak developer Syariah ​#TanpaKPRBank yang menawarkan program ini. Nah, milenial bisa mencicil uang muka selama jangka waktu tertentu. Contohnya, pengembang syariah #TanpaKPRBank ​memberikan waktu selama 12 hingga 24 bulan bagi calon pembeli untuk mencicil uang muka yang dihitung berdasarkan harga beli yang sudah ditentukan di awal.

Pembeli mencicil DP ke developer. Setelah uang muka lunas, barulah pembeli menjalankan cicilannya yang juga langsung ke developer. Harga sudah disepakati diawal, ​karena itu saat nanti lunas beberapa bulan kemudian, harga beli tidak akan berubah dari yang sudah disepakati. Meskipun program ini cukup membantu, namun beberapa ​hal yang perlu perhatikan, yaitu:

• Harga beli dengan cicilan DP lebih tinggi dibandingkan DP yang langsung lunas. Ini karena pengembang ‘kehilangan’ waktu menunggu pembeli menyelesaikan uang ​muka.

• Serah terima bangunan dengan skema cicilan DP biasanya lebih lama dari konsumen yang sanggup membayar DP lunas di awal.

• Jika di tengah jalan, pembeli gagal menyelesaikan cicilan DP, maka pembeli bisa memiliki konsekuensi cicilan DP yang sudah dibayarkan akan hangus.


3. BEKERJALAH LEBIH KERAS DAN LEBIH CERDAS

Allah dan Rasul-Nya senang pada ummat-Nya yang pekerja keras dan enggan untuk malas-malasan. Oleh karenanya sudah semestinya sebagai kaum milenial yang ​masih memiliki energi, kesehatan dan juga waktu alangkah baiknya dialokasikan dengan kegiatan yang produktif, salah satunya bekerja dengan giat dan bekerja cerdas. ​Niatkan bekerja karena Allah, agar Allah izinkan untuk memiliki pendapatan yang cukup untuk memiliki rumah.

Begitu banyak peluang pendapatan tambahan pada dewasa ini. Bahkan hanya bermodalkan smartphone dan internet. So, cermatlah dalam mengambil peluang agar ​pendapatan terus meningkat sehingga isi rekening cukup untuk membeli rumah.


4. BELI TANAHNYA LEBIH DAHULU

Sebenarnya kenaikan harga property yang signifikasi itu terletak pada harga tanah. Karena kenaikan harga bangunan itu hanya berkisar di kenaikan inflasi saja. Dengan ​mengamankan “dasar” dari rumah, yakni tanah, milenial setidaknya sudah menyelesaikan 2/3 tugas agar memiliki rumah. Selain itu, dengan membeli tanah milenial jauh ​lebih hemat dibanding dengan membeli rumah langsung siap huni.

Penghematannya bisa hingga 30%! Wow mantap bukan? Tak hanya itu, milenial juga bebas menentukan desain dan denah rumah tanpa harus terikat dengan ​pengembang perumahannya.

Oleh karenanya, ketika memiliki tabungan atau mungkin warisan (hehehe) namun belum cukup membeli rumah, alangkah baiknya dialokasikan untuk membeli tanah ​terlebih dahulu. Untuk biaya bangun bisa dicicil dengan mengalokasikan pendapatannya untuk membeli bahan-bahan bangunan dan tukang. Walau mungkin terkesan ​agak lama memiliki rumah karena menunggu pembangunan, namun percayalah teman-teman milenial tidak akan pusing dengan cicilan rumah hingga belasan tahun!


5. BERBISNIS PROPERTYLAH!

Cara lain yang mungkin agak out of the box untuk milenial supaya memliki property/rumah adalah dengan terjun ke bisnis property. Hehehe.. Apa mungkin ya? ​Sebenarnya tips ini berangkat dari pengalaman penulis yang juga kategori milenial dengan berbisnis property hingga akhirnya memiliki beberapa asset property. Hiihiihii.

Yup, dengan berbisnis property, kaum milenial berkesempatan memiliki property tanpa beli. Untuk terjun ke bisnis property alangkah baiknya dalami dahulu ilmu bisnis ​property, khususnya property syariah. Bisa mencoba kelas mentoring/camp yang diinisiasi oleh Komunitas Developer Property Syariah. Hehhe.


6. NIKAHILAH ANAK YANG PUNYA BANYAK PROPERTY. HAHAHA

Trik terakhir yang paling ampuh, mujarab, dan tanpa perlu banyak menghabiskan keringat adalah nikahilah anak dari orang tua yang memiliki banyak asset property. ​Dijamin milenial tak akan perlu bekerja keras banting tulang, peras keringat hingga jungkir balik untuk memiliki rumah. Namun pertanyaannya, orang tuanya mau gak ​dengan situ? Masa ada orang tua yang tega menikahkan anaknya dengan orang yang malas-malasan. Ehehhehe . Artinya disini ada “kepantasan”. Allah akan ​menjodohkan orang dengan yang “se-kelas” dengan dia. Kalau dianya rajin, pintar, dan soleh pasti Allah sandingkan dengan yang setara. Hehehe. Ini kok jadi bahas jodoh ​yaaa.

Sekian dulu beberapa tips agar memiliki rumah bagi milenial, semoga berguna yaa. Semoga Allah memudahkan kita semua agar bisa memiliki hunian yang halal sesuai ​dengan SyariatNya. Aamiin.


Pada saat ini generasi milenial mendominasi populasi penduduk Indonesia. Tak hanya itu, kaum milenial juga mendominasi angkatan kerja. Kabar buruknya, kaum milenial ​diprediksi akan sulit memiliki rumah/property sehingga terancam jadi 'gelandangan' dalam beberapa tahun ke depan. Peningkatan pendapatan yang tidak signifikan ​dibandingkan rata-rata kenaikan harga property yang sangat tinggi serta gaya hidup yang cenderung boros, menjadi penyebab utamanya.

Hasil survey Rumah123 menyatakan dalam 1 tahun mendatang atau di tahun 2020, hanya 5% kaum milenial (kelahiran antara 1982 – 1995) yang sanggup membeli rumah. ​Sisanya, 95% tak memiliki tempat tinggal. Mendengar kabar tersebut membuat sedih kaum milenial. Bagaimana tidak? Kenaikan upah sangat berbanding terbalik ​dengan kenaikan property yang sangat tajam. Untuk di kota-kota besar, kenaikan harga property mencapai 17%, sedangkan kenaikan rata rata upah daerah berkisar 10%, ​ini belum termasuk biaya hidup semakin tinggi yang harus dijalani kaum milenial.

Melihat fakta-fakta tersebut, bagaimanapun rumah adalah kebutuhan pokok yang setiap orang pasti ingin memilikinya. Namun, hasrat untuk memiliki rumah jangan ​sampai membuat milenial melanggar Syariat-Nya dengan cara mengambil rumah dengan skema ribawi melalui KPR bank misalnya. Atau dengan korupsi uang rakyat ​agar bisa membeli rumah.

Meski tantangan yang dihadapi begitu berat, hendaklah kaum milenial jangan berputus asa dahulu, karena ada beberapa tips dan trik bagi milenial agar memiliki ​property tanpa riba.

1. TUNDA KESENANGANMU! MENABUNGLAH!

Langkah paling mudah adalah menabung. Memang banyak dari kaum milenial yang tidak bisa mengelola keuangan dengan baik sehingga sulit mengumpulkan uang ​untuk ditabung. Menurut survey Acorns (2015), dikutip dari Jakarta Post, hampir separuh anak muda menghabiskan uang mereka lebih banyak untuk nongkrong di kedai ​kopi dibandingkan menabung untuk masa depannya. Gaya hidup boros, travelling, dan konsumtif membuat milenial cenderung tidak bisa menabung. Hal ini tentu ​menyebabkan kaum milenial kesulitan untuk membeli property walau hanya untuk membayar DPnya sekalipun.

Oleh karenanya, alangkah baiknya kaum milenial menunda kesenangan dunianya sementara demi bisa memenuhi kebutuhan yang sifatnya bisa seumur hidup.

Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk tidak hidup boros? So, jangan ikuti hawa nafsu dengan gaya hidup boros. Sisihkan pendapatan yang diniatkan kuat agar ​Allah mengizinkan untuk memiliki rumah/property.


2. IKUT PROGRAM CICIL UANG MUKA KE PENGEMBANG SYARIAH

Kesulitan milenial salah satunya adalah tidak memiliki uang muka. Salah satu solusinya adalah ikut program cicilan uang muka (DP). Sudah banyak developer Syariah ​#TanpaKPRBank yang menawarkan program ini. Nah, milenial bisa mencicil uang muka selama jangka waktu tertentu. Contohnya, pengembang syariah #TanpaKPRBank ​memberikan waktu selama 12 hingga 24 bulan bagi calon pembeli untuk mencicil uang muka yang dihitung berdasarkan harga beli yang sudah ditentukan di awal.

Pembeli mencicil DP ke developer. Setelah uang muka lunas, barulah pembeli menjalankan cicilannya yang juga langsung ke developer. Harga sudah disepakati diawal, ​karena itu saat nanti lunas beberapa bulan kemudian, harga beli tidak akan berubah dari yang sudah disepakati. Meskipun program ini cukup membantu, namun beberapa ​hal yang perlu perhatikan, yaitu:

• Harga beli dengan cicilan DP lebih tinggi dibandingkan DP yang langsung lunas. Ini karena pengembang ‘kehilangan’ waktu menunggu pembeli menyelesaikan uang ​muka.

• Serah terima bangunan dengan skema cicilan DP biasanya lebih lama dari konsumen yang sanggup membayar DP lunas di awal.

• Jika di tengah jalan, pembeli gagal menyelesaikan cicilan DP, maka pembeli bisa memiliki konsekuensi cicilan DP yang sudah dibayarkan akan hangus.


3. BEKERJALAH LEBIH KERAS DAN LEBIH CERDAS

Allah dan Rasul-Nya senang pada ummat-Nya yang pekerja keras dan enggan untuk malas-malasan. Oleh karenanya sudah semestinya sebagai kaum milenial yang ​masih memiliki energi, kesehatan dan juga waktu alangkah baiknya dialokasikan dengan kegiatan yang produktif, salah satunya bekerja dengan giat dan bekerja cerdas. ​Niatkan bekerja karena Allah, agar Allah izinkan untuk memiliki pendapatan yang cukup untuk memiliki rumah.

Begitu banyak peluang pendapatan tambahan pada dewasa ini. Bahkan hanya bermodalkan smartphone dan internet. So, cermatlah dalam mengambil peluang agar ​pendapatan terus meningkat sehingga isi rekening cukup untuk membeli rumah.


4. BELI TANAHNYA LEBIH DAHULU

Sebenarnya kenaikan harga property yang signifikasi itu terletak pada harga tanah. Karena kenaikan harga bangunan itu hanya berkisar di kenaikan inflasi saja. Dengan ​mengamankan “dasar” dari rumah, yakni tanah, milenial setidaknya sudah menyelesaikan 2/3 tugas agar memiliki rumah. Selain itu, dengan membeli tanah milenial jauh ​lebih hemat dibanding dengan membeli rumah langsung siap huni.

Penghematannya bisa hingga 30%! Wow mantap bukan? Tak hanya itu, milenial juga bebas menentukan desain dan denah rumah tanpa harus terikat dengan ​pengembang perumahannya.

Oleh karenanya, ketika memiliki tabungan atau mungkin warisan (hehehe) namun belum cukup membeli rumah, alangkah baiknya dialokasikan untuk membeli tanah ​terlebih dahulu. Untuk biaya bangun bisa dicicil dengan mengalokasikan pendapatannya untuk membeli bahan-bahan bangunan dan tukang. Walau mungkin terkesan ​agak lama memiliki rumah karena menunggu pembangunan, namun percayalah teman-teman milenial tidak akan pusing dengan cicilan rumah hingga belasan tahun!


5. BERBISNIS PROPERTYLAH!

Cara lain yang mungkin agak out of the box untuk milenial supaya memliki property/rumah adalah dengan terjun ke bisnis property. Hehehe.. Apa mungkin ya? ​Sebenarnya tips ini berangkat dari pengalaman penulis yang juga kategori milenial dengan berbisnis property hingga akhirnya memiliki beberapa asset property. Hiihiihii.

Yup, dengan berbisnis property, kaum milenial berkesempatan memiliki property tanpa beli. Untuk terjun ke bisnis property alangkah baiknya dalami dahulu ilmu bisnis ​property, khususnya property syariah. Bisa mencoba kelas mentoring/camp yang diinisiasi oleh Komunitas Developer Property Syariah. Hehhe.


6. NIKAHILAH ANAK YANG PUNYA BANYAK PROPERTY. HAHAHA

Trik terakhir yang paling ampuh, mujarab, dan tanpa perlu banyak menghabiskan keringat adalah nikahilah anak dari orang tua yang memiliki banyak asset property. ​Dijamin milenial tak akan perlu bekerja keras banting tulang, peras keringat hingga jungkir balik untuk memiliki rumah. Namun pertanyaannya, orang tuanya mau gak ​dengan situ? Masa ada orang tua yang tega menikahkan anaknya dengan orang yang malas-malasan. Ehehhehe . Artinya disini ada “kepantasan”. Allah akan ​menjodohkan orang dengan yang “se-kelas” dengan dia. Kalau dianya rajin, pintar, dan soleh pasti Allah sandingkan dengan yang setara. Hehehe. Ini kok jadi bahas jodoh ​yaaa.

Sekian dulu beberapa tips agar memiliki rumah bagi milenial, semoga berguna yaa. Semoga Allah memudahkan kita semua agar bisa memiliki hunian yang halal sesuai ​dengan SyariatNya. Aamiin.

03 Agustus 2​024

Jual-Beli Saham Dalam Pandangan Islam

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Ketika kaum Muslim hidup dalam naungan sistem Khilafah, berbagai muamalah mereka selalu berada dalam timbangan syariah (halal-haram). Khalifah Umar bin al-​Khaththab, misalnya, tidak mengizinkan pedagang manapun masuk ke pasar kaum Muslim kecuali jika dia telah memahami hukum-hukum muamalah. Tujuannya tiada ​lain agar pedagang itu tidak terjerumus ke dalam dosa riba. (As-Salus, Mawsû‘ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’âshirah, hlm. 461).

Namun, ketika Khilafah hancur tahun 1924, kondisi berubah total. Kaum Muslim makin terjerumus dalam sistem ekonomi yang dipaksakan penjajah kafir, yakni sistem ​Kapitalisme yang memang tidak mengenal halal-haram. Ini karena akar sistem Kapitalisme adalah paham sekularisme yang menyingkirkan agama sebagai pengatur ​kehidupan publik, termasuk kehidupan ekonomi.

Walhasil, seperti kata as-Salus, kaum Muslim akhirnya hidup dalam sistem ekonomi yang jauh dari Islam, seperti sistem perbankan dan pasar modal (burshah al-awraq al-​maliyah) (Ibid., hlm. 464). Tulisan ini bertujuan menjelaskan fakta dan hukum seputar saham dan pasar modal dalam tinjauan fikih Islam.

Fakta Saham

Saham bukan fakta yang berdiri sendiri, namun terkait dengan pasar modal sebagai tempat perdagangannya dan juga terkait dengan perusahaan publik (perseroan ​terbatas/PT) sebagai pihak yang menerbitkannya. Saham merupakan salah satu instrumen pasar modal (stock market). Dalam pasar modal, instrumen yang ​diperdagangkan adalah surat-surat berharga (securities) seperti saham dan obligasi, serta berbagai instrumen turunannya (derivatif) yaitu opsi, right, waran, dan ​reksadana. Surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan inilah yang disebut efek (Hasan, 1996).

Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 ​tentang Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai, “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD ​(Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990). Adapun obligasi (bonds, as-sanadat) adalah bukti pengakuan utang dari ​perusahaan (emiten) kepada para pemegang obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).

Selain terkait dengan pasar modal, saham juga terkait dengan PT (perseroan terbatas, limited company) sebagai pihak yang menerbitkannya. Dalam UU No. 1 tahun 1995 ​tentang Perseroan Terbatas pasal 1 ayat 1, perseroan terbatas didefinisikan sebagai, “badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan ​usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham”. Modal dasar yang dimaksud terdiri atas seluruh nilai nominal saham (Ibid., pasal 24 ayat 1).

Definisi lain menyebutkan, perseroan terbatas adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan, hak, serta kewajiban sendiri yang terpisah dari kekayaan, hak dan ​kewajiban para pendiri maupun pemiliknya (M. Fuad, et.al., 2000). Jadi, sesuai namanya, keterlibatan dan tanggung jawab para pemilik PT hanya terbatas pada saham ​yang dimiliki. Perseroan terbatas sendiri juga mempunyai kaitan dengan bursa efek. Kaitannya, jika sebuah perseroan terbatas telah menerbitkan sahamnya untuk publik ​(go public) di bursa efek, maka perseroan itu dikatakan telah menjadi “perseroan terbatas terbuka” (Tbk).

Fakta Pasar Modal

Pasar modal adalah sebuah tempat modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (pihak investor) dan orang yang membutuhkan modal (pihak ​issuer/emiten) untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan ​penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.” ​(Muttaqin, 2003).

Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu:

Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para ​investor di Bursa Efek.

Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak: a. Penjamin Emisi (underwriter), yaitu: perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti, jika saham atau ​obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana; b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi ​memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak. c. Perusahaan Penilai ​(appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak.

Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan ​sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar ​Modal) yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan.

Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, ​yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.

Perantara Perdagangan Efek, yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa boleh ditransaksikan. Makelar ​adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Adapun komisioner ​adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh imbalan.

Investor, yaitu pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut (Junaedi, 1990; Muttaqin, 2003; ​Syahatah & Fayyadh, 2004).

Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan pasar perdana (primary market), kemudian pasar sekunder (secondary ​market). Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor, yang terjadi pada saat IPO (Initial Public Offering) atau ​penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara fisik dalam bursa, tetapi melalui pihak perantara seperti dijelaskan di atas. Dari ​penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.

Adapun pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, ​investor tersebut lalu menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun ​untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya.

Jual-Beli Saham dalam Pasar Modal Menurut Islam

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. ​Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi; jasa keuangan konvensional seperti bank dan ​asuransi; industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno; dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli saham perusahaan seperti ini adalah ​semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hlm. 18; Yusuf as-​Sabatin, Al-Buyû‘ al-Qadîmah wa al-Mu‘âshirah wa al-Burshat al-Mahalliyyah wa ad-Duwaliyyah, hlm. 109).

Namun, jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal (misalnya di bidang transportasi, ​telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya) Syahatah dan Fayyadh berkata, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar‘i…Dalil yang ​menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.” (Syahatah dan Fayyadh, Ibid., hlm. 17).

Namun demikian, ada fukaha yang tetap mengharamkan jual-beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini, misalnya, Taqiyuddin an-Nabhani ​(2004), Yusuf as-Sabatin (Ibid., hlm. 109) dan Ali as-Salus (Mawsû‘ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu‘âshirah, hlm. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan ​usaha (PT) yang sesungguhnya tidak islami. Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, ​apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.

Aspek inilah yang tampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini. Terbukti, mereka tidak menyinggung sama sekali ​aspek krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi ​spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; az-Zuhaili, 1996; al-Mushlih & ash-Shawi, ​2004; Syahatah & Fayyadh, 2004).

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musâhamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak ​sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain karena dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad ​syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar ​modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab-kabul dalam PT ini sangatlah ​fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar‘i. ​Sangat fatal, bukan? Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (râjih), karena lebih teliti dan ​jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang ​usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin an-Nabhani, al-​Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/437).


Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

[KH M. Shiddiq al-Jawi]

05 Agustus 2024​

HUKUM MEMBAYAR UTANG DENGAN BARANG

Delivery Person Handing Out Parcel to Customer

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, ada teman yang pinjam modal usaha nilainya Rp 300 juta dari seseorang. Bolehkah sebagian utangnya dibayar pakai mobil milik teman tersebut, meski harga mobilnya tidak senilai utang. Jadi mobilnya dihargai Rp 200 juta, sehingga masih ada sisa utang Rp 100 juta. Apakah sah utang dibayar dengan mobil seperti itu? (Subhan, Bandung).


Jawab :

Pembayaran utang dengan barang, misalnya mobil, seperti pertanyaan di atas, oleh para ulama disebut dengan istilah bai’u ad-dain (menjual piutang), atau tamlīk al-dain li al-madīn, yaitu memindahkan hak milik piutang dari semula miliknya pihak pemberi utang menjadi miliknya pihak yang berutang. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21/126; 27/334).

Contohnya, A mempunyai utang kepada B sebesar Rp 10 juta. Dengan kata lain, B mempunyai piutang di A sebesar Rp 10 juta. Kemudian B membeli HP milik A seharga Rp 10 juta, namun B tidak membayar A dengan uang tunai, melainkan membayar dengan piutang milik B yang ada di A tersebut.

Bolehkah akad muamalah yang disebut bai’u ad-dain (menjual piutang) tersebut? Jawabannya, ada ikhtilāf ulama mengenai hukumnya, namun pendapat yang rājih adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkannya dengan syarat-syaratnya. Pendapat jumhur ulama yang dimaksud adalah pendapat fuqoha` mazhab yang empat (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang juga merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Az-Zuhri, Qatadah, Asyhab, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain. (Khalid Muhammad Turban, Bai’u Al-Dain Ahkāmuhu wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah, hlm. 27; Usāmah bin Humūd bin Muhammad Al-Lāhim, Bai’u Al-Dain wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah fī Al-Fiqh Al-Islāmī, Juz I, hlm. 125).

Dalil yang membolehkan bai’u ad-dain (menjual piutang) antara lain hadits dari Ibnu Umar RA, bahwa dia berkata :


عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالدَّنَانِيرِ [أي مُؤَجَّلاً] وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقاَلَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ


“Saya dulu menjual unta dengan dinar (yaitu dibayar tempo, atau tidak kontan) namun saya mengambil (harganya) dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham (secara tempo, atau tidak kontan) namun saya mengambil (harganya) dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai jual beli itu, maka Rasulullah SAW bersabda,”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu (hari jatuh tempo), selama kalian berdua (penjual dan pembeli) tidak berpisah sementara di antara kalian berdua masih ada sesuatu (sisa pembayaran utang).” (HR. Ahmad, no. 6239; Abu Dāwud, no. 3354; An-Nasā`ī, no 4582; Tirmidzī, no 1242; dan Ibnu Mājah, no. 2262).

Hadits ini menunjukkan bolehnya menjual (atau menukar) sesuatu yang berada dalam tanggungan, yaitu piutang berupa uang dinar, dengan uang dirham, atau sebaliknya, jika : (1) pihak pembelinya (al-musytari) adalah pihak yang berutang (al-madīn), (2) harganya dibayar kontan (hālan), serta (3) terjadi serah terima (al-qabdh) di majelis akad. Inilah yang menjadi taqrīr dari Rasullullah SAW untuk bai’u ad-dain (menjual piutang) dengan objek akad berupa mata uang (an-nuqūd) dalam hukum sharaf (penukaran uang). (Khalid Muhammad Turban, Bai’u Al-Dain Ahkāmuhu wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah, hlm. 27; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 268, Abdus Sami’ Ahmad Imam, Nazharāt fī Ushūl Al-Buyū’ Al-Mamnū’ah, hlm. 177).

Jumhur ulama kemudian berhujjah dengan hadits ini untuk membolehkan bai’u ad-dain (menjual piutang) dengan objek akad untuk barang-barang lain di luar mata uang (an-nuqūd), dengan berkata :


وَإِذَا جاَزَ بَيْعُ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ بِالْآخَرِ جاَزَ بَيْعُ غَيْرِهِماَ مِمَّا ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ بِطَرِيْقِ اْلأَوْلىَ


”Jika dibolehkan jual beli satu jenis mata uang dengan mata uang lainnya yang berada dalam tanggungan, maka tentu lebih dibolehkan untuk selain mata uang.” (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Matrak, Al-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah, hlm. 289).


Kesimpulan, boleh hukumnya membayar utang dengan mobil seperti pertanyaan di atas, karena hal itu termasuk bai’u ad-dain (menjual piutang) yang telah dibolehkan oleh jumhur ulama. Wallāhu a’lam.


Yogyakarta, 15 Juli 2024

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

[KH M. Shiddiq al-Jawi]


Sumber Asli: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/635

05 Agustus 2024​

JIKA SYIRKAH MUDHARABAH RUGI DISEBABKAN PENIPUAN OLEH ​SALAH SATU DARI DUA PENGELOLA MODAL, SIAPAKAH YANG WAJIB ​MENANGGUNG KERUGIAN?

Business Concept. Deal, Joint Venture, Start up.

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :


Ustadz, jika sebuah syirkah mudharabah rugi disebabkan penipuan yang dilakukan oleh salah satu dari dua pengelola modal (mudhārib), siapakah yang wajib menanggung kerugian? Apakah kedua mudhārib itu sama-sama wajib menanggung kerugian, ataukah hanya mudhārib yang melakukan penipuan? (Hamba Allah).


Jawab :

Jawaban untuk kasus di atas akan kami sampaikan dalam 4 (empat) poin hukum syara’ secara tertib (berurutan secara logis) sebagai berikut :


Pertama, hukum asalnya, dalam syirkah mudharabah, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh pemodal (sāḥibul māl) saja, tidak ditanggung oleh pengelola modal (mudhārib/’ āmil).


Dalilnya adalah hadits ‘Ali bin Abi Thalib RA yang berkata :


الوَضِيْعَةُ عَلَى الْمَالِ والرِّبْحُ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهِ


“Kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka.” (Imam ‘Abdur Razāq, Al-Muṣannaf, VIII, hlm. 248, no. 15087; Imam Syaukani, Naylul Awthār, Juz V, hlm. 318).


Kedua, sebagai perkecualian dari hukum asal pada poin pertama di atas, pengelola modal (mudhārib / ‘āmil) yang hukum asalnya tidak menanggung kerugian, menjadi wajib menanggung kerugian jika pengelola modal (mudhārib / ‘āmil) melakukan salah satu dari tiga hal berikut ini yang menyebabkan kerugian syirkah, yaitu :


(1) al-ta’addiy (اَلتَّعَدِّيُّ), atau perbuatan melampaui batas, yaitu melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan; atau

(2) al-taqṣīr (اَلتَّقْصِيْرُ), atau al-tafrīth (اَلتَّفْرِيْطُ), atau kelalaian, yaitu tidak melakukan perbuatan yang sebenarnya justru wajib dilakukan; atau

(3) mukhālafat al-shurūṭ (مُخَالَفَةُ الشُّرُوْطِ), yaitu melanggar syarat-syarat yang sudah disepakati dalam perjanjian (akad) syirkah.


(Lihat : Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, dalam Sidang Ke-20, di Kuwait, 22-25 Maret 2015; lihat https://dorar.net/feqhia/8504/مطلب-ضمان-البنك-للمخاطر-%28الخسارة%29).


Imam Ibnu Qudamah menjelaskan tiga hal tersebut dalam kitabnya Al-Mughny sebagai berikut :


وَلَا يَضْمَنُ رَأْسَ الْمَالِ إِلَّا بِالتَّعَدِّي وَتَجَاوُزِهِ مَا حَدَّدَ لَهُ مِنْ المُضارَبَةِ المُقَيَّدَةِ ، أَوْ شِرَائِهِ شَيْئًا نُهِيَ عَنْ شِرَائِهِ ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَليٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : لَا ضَمانَ عَلَى مَنْ شَوَّرَكَ فِي الرِّبْحِ . فَإِذَا فَعَلَ مَا نُهِيَ عَنْهُ ، أَوْ تَعَدَّى مَا لَيْسَ مِنْ عَمَلِ المُضارَبَةِ ، أَوْ أَهْمَلَ فِي صِيَانَةِ الْمَالِ ضَمِنَ رَأْسَ الْمَالِ لِتَقْصِيْرِهِ وَظُلْمِهِ ولأِنَّهُ مُتَصَرِّفٌ فِي مَالِ غَيْرِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ


“[Pengelola modal/ mudhārib / ‘āmil] tidak bertanggung jawab atas modal, kecuali akibat perbuatannya yang melampaui batas dari apa-apa yang sudah dibatasi untuknya dari sebuah mudharabah yang muqayyadah (berbatas), atau akibat perbuatannya membeli suatu barang yang dia sudah dilarang untuk membelinya. Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa dia berkata,”Tidak ada tanggung jawab [menanggung modal] atas orang yang bekerjasama dengan Anda untuk mendapat keuntungan.” Maka jika pengelola modal (mudhārib / ‘āmil) melakukan suatu perbuatan yang sudah dilarang [mukhālafat al-shurūṭ], atau melampaui batas (at-ta’addi) dengan melakukan apa-apa yang bukan aktivitas mudharabah, atau melakukan kelalaian (al-taqṣīr) dalam menjaga harta, maka pengelola modal itu bertanggung jawab atas modal, karena kelalaiannya, atau kezalimannya, dan karena dia telah melakukan tasharruf [pengelolaan] terhadap harta orang lain tanpa seizin pemiliknya.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughny, Juz V, hlm. 49; ‘Abdul ‘Azīz Al-Khayyāth, Al-Sharikāt fī Al-Sharī’at Al-Islāmiyyah wa Al-Qānūn al-Waḍ’iy, Juz II, hlm. 66).


Ketiga, dalam hal syirkah mudharabah mengalami kerugian yang disebabkan oleh pengelola modal (mudhārib / ‘āmil) yang terbukti melakukan tindakan : (1) at-ta’addi (melampaui batas); atau (2) al-taqṣīr (melakukan kelalaian), atau (3) mukhālafat al-shurūṭ (melanggar syarat-syarat yang disepakati), maka jika jumlah pengelola modalnya lebih dari satu orang, kerugian ditanggung hanya oleh pengelola modal yang menjadi penyebab kerugian, sedang pengelola modal lainnya yang tidak menjadi penyebab kerugian, tidak berkewajiban menanggung modal.


Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh situs www.islamweb.net dengan nomor fatwa 460624 mengenai kerugian syirkah yang ditimbulkan oleh dua pengelola modal (mudhārib / ‘āmil), dimana pengelola modal yang satu melakukan (1) at-ta’addi atau (2) al-taqṣīr, atau (3) mukhālafat al-shurūṭ, sedang pengelola modal lainnya tidak melakukan hal-hal tersebut, disebutkan bahwa :


فَالْخَسَارَةُ يَتَحَمَّلُهَا جَمِيْعُ الشُّرَكَاءِ . . . إِلَا إِذَا ثَبَتَ كَوْنُ الطَّرَفِ الآخَرِ _َ الشَّريكَ _ تَعَدَّى أَوْ فَرَّطَ ، وَكَانَ ذَلِكَ هوَ سَبَبُ الخَسَارَةِ ، فَيَتَحَمَّلُهَا هُوَ دُوْنَ غَيْرِهِ ، لِتَفْرِيْطِهِ ، وَتَعَدِّيْهِ...


“Jadi kerugian yang muncul, ditanggung oleh semua syarīk (mudhārib)...kecuali jika telah terbukti bahwa satu pihak yang lain, yang berkedudukan sebagai syarīk (mudhārib), melakukan tindakan melampaui batas (at-ta’addi) atau melakukan kelalaian (al-tafrīt / al-taqsīr) dan dia itulah yang menjadi penyebab kerugian, maka hanya dialah yang menanggung kerugian, sedang syarīk (mudhārib) lainnya tidak ikut menanggung kerugian, karena dia [syarīk/mudhārib yang menjadi penyebab kerugian] telah melakukan kelalaian (al-tafrīt / al-taqsīr) dan perbuatan melampaui batas (at-ta’addi)...”


(Sumber : https://www.google.com/amp/s/www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/460624/).


Fatwa yang semakna juga dikeluarkan oleh situs www.alifta.jo yang menyebutkan :


فَإِذَا تَعَدَّى أَحَدُ الشُّرَكَاءِ وَتَسَبَّبَ فِي خَسَارَةِ الشَّرِكَةِ ، فَإِنَّهُ يَضْمَنُ بِقَدْرِ تَعَدِّيْهِ وَحْدَهُ دُوْنَ الشُّرَكَاءِ اْلآخَرِينَ ؛ لِأَنَّ يَدَ الشَّريكِ يَدُ أَمانَةٍ ، فَلَا يَضْمَنُ إِلَّا بِالتَّعَدِّيِّ أَوْ التَّقْصِيْرِ . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ


“Maka jika salah satu dari para syarīk (mudhārib) melakukan perbuatan melampaui batas (at-ta’addi) dan menjadi penyebab kerugian syirkah, maka dia sendiri yang wajib bertanggung jawab sesuai kadar perbuatannya dalam perbuatan melampaui batasnya itu, tanpa menyertakan syarīk (mudhārib) yang lainnya, karena tangan seorang syarīk (mudhārib) itu adalah tangan amanah (yad amānah), maka dia tidaklah bertanggung jawab [untuk mengganti modal] kecuali akibat perbuatannya melakukan at-ta’addi (melampaui batas) atau melakukan al-taqsīr (kelalaian).”


(Sumber : https://www.aliftaa.jo/Question2.aspx?QuestionId=3229#.ZAfvJCcxcwA)


Keempat, berdasarkan tiga poin yang sudah kami jelaskan sebelumnya di atas, jelaslah bahwa jika syirkah mengalami kerugian akibat salah satu dari dua mudharibnya melakukan penipuan, maka hanya mudharib yang melakukan penipuan saja yang wajib bertanggung jawab untuk mengembalikan modal syirkah, sedangkan mudharib yang tidak melakukan penipuan, tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab mengembalikan modal syirkah, walaupun keduanya sama-sama berkedudukan sebagai pengelola modal (mudhārib/’āmil) dalam syirkah mudharabah yang sama. Wallāhu a’lam.


Yogyakarta, 17 Mei 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi


Sumber Asli: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/635

05 Agustus 2024​

HUKUM FRANCHISE (WARALABA)

Man holding smartphone with a Franchise icons.

Franchise atau waralaba adalah bisnis yang banyak peminatnya dan menjanjikan keuntungan yang besar. Namun apakah kita sudah mengetahui hukum Franchise itu seperti apa? Kita simak jawaban KH. M. Shiddiq Al Jawi.


Waralaba (franchise) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha yang disebut franchisor (pemberi waralaba), terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha miliknya dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain yang disebut franchisee (penerima waralaba) dengan imbalan berupa royalty (sejenis bagi hasil) dan sering kali juga berupa one-time initial fee (sejenis uang sewa) berdasarkan suatu perjanjian waralaba. (Peraturan Pemerintah No. 42/2007 Tentang Waralaba; www.franchise.org/faqs/basics/what-is-a-franchise).


Kewajiban-kewajiban franchisor (atau hak-hak franchisee) adalah; pertama, mengizinkan penggunaan merek, paten, dan yang sejenisnya. Kedua, memberi pelatihan terkait merek (brand) untuk menjaga kualitas barang dan jasa. Ketiga, memegang leadership dan memberi support (seperti marketing, dll). Keempat, melakukan pengawasan (control).


Sedangkan hak-hak franchisor (atau kewajiban-kewajiban franchisee) adalah; pertama, mendapatkan franchise fee (atau disebut juga one-time initial fee) yaitu sejenis uang sewa merek selama masa kontrak franchise, yang biasanya dibayar sekali di depan. Kedua, mendapatkan continuing fee (atau disebut juga royalty), yang sering diindonesiakan dengan istilah (“bagi hasil”). Besarnya royalty ini berupa persentase dari nilai penjualan (revenue/omzet) dalam jangka waktu tertentu, misalnya 10% dari nilai penjualan dalam satu bulan. Namun dalam standar peraturan franchise, segala keuntungan dan risiko bisnis menjadi tanggung jawab franchisee secara independen, bukan tanggung jawab pihak franchisor. (www.franchise.org/faqs/basics/what-is-a-franchise).


Fakta franchise di atas tidak sesuai syariah, karena banyak pelanggaran syariah (mukhâlafât syar’iyyah) dalam akad dan berbagai syarat dan ketentuan (S&K) pada franchise, di antaranya :


Pertama, terjadi multiakad (hybrid contracts/shafqataini fî shafqatin wahidah) yang telah dilarang syariah, yaitu penggabungan dua akad dimana satu akad mempersyaratkan akad lain secara mengikat (mulzim). Dalam franchise terjadi penggabungan mengikat antara akad sewa merek, yang berkonsekuensi adanya one-time initial fee, dengan akad syirkah yang berkonsekuensi adanya bagi hasil (royalty) dari nilai penjualan (revenue/omzet). Padahal syara’ telah mengharamkan terjadinya multiakad tersebut sesuai hadits berikut ini :


عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما عن أبيه قال نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ


Dari Abdullah Ibnu Mas’ud RA dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang penggabungan dua akad ke dalam satu akad [secara mengikat] (nahâ rasûlullah SAW ‘an shafqataini fî shafqatin wâhidatin).” (HR Ahmad, I/398). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz II, hlm. 308).


Kedua, bagi hasil berupa royalty yang berbasis revenue sharing bertentangan dengan cara bagi hasil syar’i yang basisnya profit sharing (pembagian laba), bukan revenue sharing (pembagian pendapatan). Ali bin Abi Thalib RA menjelaskan prinsip bagi hasil syirkah dengan berkata :


الوَضيعَةُ عَلَى الْمَالِ والرِّبْحِ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهُ


”Kerugian ditanggung sesuai kadar modal, sedangkan keuntungan (ar-ribhu, profit) dibagi berdasarkan kesepakatan.” (Mushannaf ‘Abdur Razâq, Juz VIII, hlm. 248-249; Mushannaf Ibnu Abî Syaibah, Juz V, hlm. 4; Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî Al-Islâm, hlm. 148). Jadi, jelas bahwa yang dibagihasilkan dalam syirkah itu adalah profit (Arab : ar-ribhu), bukan pendapatan (revenue, Arab : ad-dakhl/al-wârid).


Ketiga, ketentuan bahwa franchisor tidak turut menangung risiko bisnis, dan semua risiko menjadi tanggung jawab franchisee semata, bertentangan dengan hukum syirkah Islami yang menetapkan prinsip profit and loss sharing (berbagi laba dan kerugian) secara adil di antara para pesyirkah dalam akad syirkah. (‘Abdul ‘Azîz Al-Khayyâth, Asy-Syarikât fî Asy-Syarî’ah Al-Islâmiyyah wa Al-Qânûn Al-Wadh’î, Juz II, hlm. 341).


Solusinya, pada franchise ini diterapkan akad tunggal, bukan akad ganda (multiakad), yaitu akad sewa merek saja, atau yang disebut dengan istilah ijârat al-mârikah at-tijâriyyah, atau ijârat al-‘alâmat at-tijâriyyah sesuai hukum-hukum al-ijârah dalam Islam. (Muhammad Taqî Al-‘Ustmânî, Fiqhûl Buyû’ Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 269). Wallahu a’lam.


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Sumber asli: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/487

05 Agustus 2024​

AKAD BONUS UNTUK PEKERJA YANG SUDAH MENDAPAT GAJI

Hands Holding a 10 Dollar Bill

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Tanya :


Assalamu’alaikum Wr Wb.


Ustadz, ijin bertanya. Staff kami aqadnya Ijarah. Untuk aqad bonus yang tepat seperti apa, Tadz? Misal jika closing rumah (misal harga rumah Rp 500 juta), yang tepat yang mana Ustadz dari beberapa alternatif berikut ini : 1. staff mendapatkan bonus 1% dari nilai closing?, 2. Ataukah lebih tepat ditetapkan nilainya, misal setiap closing dapat Rp 5 juta?, 3. Atau bonus untuk staff tidak perlu disampaikan nilainya, bagaimana nanti saja saat closing? (Dandi, Bandung).


Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuhu.


Pemberian bonus untuk karyawan yang sudah mendapat gaji, secara syariah dibolehkan dan tidak masalah. Namun disyaratkan bahwa penggabungan akad ijārah dengan akad bonus tersebut, tidak terdapat klausul atau persyaratan yang menggabungkan akad ijārah dengan akad bonus secara mengikat (mulzim).

Misalnya, pada saat akad ijarah antara perusahaan dengan karyawan saat rekrutmen, terdapat klausul,”Bahwa Perusahaan wajib memberikan bonus kepada karyawan.” Ini klausul yang tidak dibolehkan secara syariah.

Ketidakbolehannya karena dalam penggabungan akad ijārah dengan akad bonus yang bersifat mengikat tersebut, berarti telah terjadi pelaksanaan satu akad yang mempersyaratkan akad lain, yang tidak dibolehkan dalam syariah. Syarat yang demikian itu (yaitu satu akad menjadi syarat bagi akad yang lain), merupakan syarat yang fāsid, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah, Al-Syarh Al-Kabīr ‘Ala Al-Muqni’, 4/53; Al-Mughni, 4/290). (Muhammad Taqy Al-‘Utsmāni, Buhūts fī Qadhāyā Fiqhiyyah Mu’āshirah, Juz I, hlm. 247).


Dalil tidak bolehnya satu akad mensyaratkan akad yang lain, adalah hadits-hadits Rasulullah SAW. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:


(1) Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata :


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ


“Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan di dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad).


(2) Hadits dari Abu Hurairah RA, dia berkata :


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ


“Rasulullah SAW telah melarang dua jual-beli dalam satu jual-beli.” (HR Tirmidzi).


(3) Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi SAW telah bersabda :


لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ


“Tidak halal menggabungkan akad salaf (qardh/pinjaman) dengan akad jual beli, dan tidak halal pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi).


Hadits-hadits tersebut merupakan dalil tidak bolehnya satu akad mensyaratkan akad yang lain. Jika ada syarat yang demikian, maka syarat tersebut hukumnya adalah fāsid, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah, Al-Syarh Al-Kabīr ‘Ala Al-Muqni’, 4/53; Al-Mughni, 4/290).


Kesimpulannya, penggabungan akad ijarah dengan akad bonus hukumnya secara syariah ada rincian (tafshīl) sebagai berikut :


Pertama, hukumnya tidak boleh jika akad ijarah dan akad bonusnya, digabungkan jadi satu akad secara mengikat (mulzim), dalam arti akad ijarah mensyaratkan adanya akad bonus.


Kedua, hukumnya boleh jika akad ijarah dan akad bonusnya, tidak digabungkan jadi satu akad secara mengikat (mulzim), dalam arti akad ijarah tidak mensyaratkan terjadinya akad bonus.


Penggabungan akad ijārah dengan akad bonus yang diperbolehkan, ditandai dengan pelaksanaan akad masing-masing secara terpisah satu sama lain, satu satu akad tidak mensyaratkan akad lainnya, dengan majelis akad yang terpisah atau sendiri-sendiri. Misalnya, akad ijārah dilakukan hari Senin, sedangkan akad bonusnya dilaksanakan pada hari Selasa, dsb. (Muhammad Taqy Al-‘Utsmāni, Buhūts fī Qadhāyā Fiqhiyyah Mu’āshirah, Juz I, hlm. 247).


Adapun akad bonusnya itu sendiri, yaitu pemberian bonus dari perusahaan kepada para pekerja, dapat memilih dari beberapa akad syariah yang diperbolehkan, misalnya :


Pertama, akad ju’ālah (sayembara), atau

Kedua, akad wakālah bil ujrah (mewakilkan dengan memberi upah), atau

Ketiga, akad samsarah (perantara dalam jual beli).


Masing-masing akad tersebut, mempunyai objek akad (ma’qūd ‘alaihi) dan akibat hukum yang berbeda-beda. Hal ini wajib diperhatikan oleh siapa pun yang hendak mengamalkan salah satu dari akad-akad tersebut.


Jika bonus menggunakan akad ju’ālah (sayembara), maka bonus hanya diberikan jika karyawan sudah berhasil mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing) (terjadinya akad jual beli). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, yaitu berupa closing, maka karyawan tidak berhak mendapat bonus. Dalam akad ju’ālah, penetapan besarnya bonus sama dengan akad ijarah, yaitu wajib berupa nominal yang fix, misal Rp 5 juta per bulan, tidak boleh berupa persentase dari harga barang, misal 1% dari harga rumah.


Jika bonus menggunakan akad wakālah bil ujrah (mewakilkan dengan memberi upah), maka bonus diberikan jika karyawan sudah bekerja, walau pun karyawan itu belum mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, karyawan tetap berhak mendapat bonus. Dalam akad wakālah bil ujrah, penetapan besarnya bonus sama dengan akad ijārah, yaitu wajib berupa nominal yang fix, misal Rp 5 juta per bulan, tidak boleh berupa persentase dari harga barang, misalkan 1% dari harga rumah.


Jika bonus menggunakan akad samsarah (perantara jual beli), maka bonus diberikan jika karyawan sudah mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, karyawan tidak berhak mendapat bonus. Dalam akad samsarah, penetapan besarnya bonus bersifat fleksibel, yaitu ada banyak cara, berbeda dengan akad ijārah. Jadi boleh berupa nominal yang fix, boleh berupa persentase dari harga rumah, boleh berupa kelebihan harga dari harga pokok penjualan (HPP), dsb. (Yūsuf Al-Qaradhāwi, Al-Halāl wa Al-Harām fi Al-Islām, hlm.226-227). Wallāhu a’lam.


Bandung, 8 Desember 2023


Muhammad Shiddiq Al-Jawi


Sumber asli: https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/583

05 Agustus 2024​

HUKUM MENYEWAKAN RUMAH DENGAN UANG JAMINAN

lease, rental and selling home. Real estate agent manager smile

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :

Ustadz, apakah boleh menyewakan barang seperti rumah dan menarik uang jaminan? Uang jaminan akan dikembalikan ke penyewa apabila barang yang disewa dikembalikan dengan kondisi seperti semula. (Dwi Condro, Bantul)


Jawab :

Haram hukumnya menyewakan rumah dengan menarik uang jaminan, berdasarkan dua alasan sbb :


Pertama, terjadi penggabungan satu akad dengan akad lain sebagai syaratnya, yang telah diharamkan. Dalam kasus ini, terjadi akad ijarah (sewa) dengan syarat ada akad lain, yaitu qardh (pinjaman) dalam bentuk pemberian uang jaminan.


Syara’ telah melarang penggabungan dua akad dimana akad yang satu mensyaratkan akad lain, sesuai riwayat Ibnu Mas’ud RA :


نَهَى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عَنِ صفْقَتَيْنِ في صفْقَةٍ واحدةٍ


”Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (shafqataini fî shafqah). (HR Ahmad, Musnad Ahmad, I/398). (Muhammad ‘Utsman Syibîr, Al Syurûth Al Muqtaranah bi Al ‘Aqad, hlm. 78).


Kedua, terjadi penggabungan akad tabarru'ât (akad sosial) dengan akad mu'âwadhat / tijârah (akad komersial), yang telah diharamkan. Pada kasus di atas, akad tabarru'ât (akad sosial) berbentuk uang jaminan, yang hakikatnya adalah akad qardh (pinjaman) karena di akhir masa sewa akan dikembalikan pemilik rumah kepada penyewa jika tidak terjadi kerusakan barang sewa. Sedang akad tijârah (akad komersial) yang ada adalah akad ijarah (sewa rumah).


Maka dari itu, menyewakan rumah disertai uang jaminan, artinya menggabungkan akad tabarru'ât dengan akad mu'âwadhât. Padahal syara’ telah melarang penggabungan dua akad tersebut, sesuai sabda Nabi SAW :


لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ


"Tidak halal salaf (qardh/pinjaman) digabungkan dengan akad jual beli." (lâ yahillu salafun wa bai’un). (HR Tirmidzi, no. 1234; Abu Dawud, no. 3504; Nasa'i, no. 4611; dan dinilai sahih oleh Nashiruddin Al Albani). (Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al Fatâwâ, XXIX/62).


Solusinya, dalam perjanjian sewa tersebut ada rincian siapa yang menanggung kerusakan rumah sbb;


Pertama, kerusakan menjadi tanggungan pemilik rumah, bukan menjadi tanggungan penyewa rumah, jika kerusakan disebabkan oleh force majeur (kondisi kahar), seperti gempa bumi, banjir, puting beliung, dan sebagainya.

Dalilnya sabda Rasulullah SAW :


الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ


”Segala pendapatan atau keuntungan, diimbangi dengan kesanggupan menanggung risiko atau kerugian.” (al kharâj bi al dhamân). (English : no reward without risk).(HR ِAbu Dawud, no. 3508; Tirmidzi, no. 1258; Nasa`i, no. 4490).


Kedua, kerusakan menjadi tanggungan penyewa rumah, jika kerusakan disebabkan penyewa melakukan taqshîr (tidak melakukan apa yang seharusnya